Menikah dengan Bahagia

*Pixabay

Disini saya ingin berbagi mengenai topik pernikahan yang sejatinya,  merupakan keinginan bagi dua insan lawan jenis saling mengasihi dan menyayangi dengan komitmen cinta landasannya.

Bagi tiap agama berbeda pastinya setiap dogma-dogma yang tidak akan sama dalam hirarki mengatur sebuah pernikahan. Saya tidak akan membahas secara detail karena itu merupakan hal sensitif dan prinsip dari setiap pandangan tiap agama.

Namun kesamaan dalam konsep pernikahan adalah menginginkan kebahagiaan dengan  berbagi cinta. Dan pondasi agama tersebut yang akan menjadikan petunjuk dalam mengarungi pernikahan. Sejatinya menikah adalah bagian dari keimanan yang harus dipenuhi.

Menikah juga bukan dalam melakukan uji coba permainan. Ini merupakan bentuk tanggung jawab dengan manusia di hadapan Tuhan.
Karena menyatukan dua kepala menjadi satu tidaklah mudah.  Apalagi menyamakan prinsip hidup, ego, sudut pandang semua akan rumit di awal. Dan akan menjadi masalah lebih kompleks apabila tidak adanya dua orang saling berkomunikasi sehat.

Betapa pentingnya sebuah komunikasi karena akan ada sebuah komitmen jangka panjang yang harus disepakati. Dari hal kecil hingga hal besar. Bisa dibayangkan apabila komunikasi diabaikan seperti kita kehilangan nyawa dalam sebuah hubungan.

Apakah cerita yang saya ceritakan akan mewakili atau terwakili untuk mayoritas banyak orang atau segelintir saja. Saya tidak dapat membuat semua orang untuk mempercayai. Karena saya bukan lembaran tim survei.

Tapi dari saya baca buku dan vlog dari seorang motivasi pernikahan "Jangan salah memilih pasangan hidup" Ini disepakati baik bagian ilmu psikolog dan agama. Tapi saya akan membenturkan dengan pemikiran kalau semua orang berpikir menikah dengan pasangan yang benar. Apakah dunia akan berhenti dan Tuhan tidak akan menguji atau apakah setan sudah pensiun menjadi dosa serta masalah.

Sebelum mengurai lebih luas, saya punya cerita dari lintas generasi dan dari sudut pandang pria dan wanita yang menikah karena "salah memilih". Ada beberapa teman pria saya bercerita mengenai awal proses pernikahannya. Dia menganggap pacaran adalah dosa. Dan dia merasa sudah terlalu tua dan nakal pada saat itu. Hanya berpikir konsep menikah adalah solusi terbaik dalam hidupnya.

*pixabay

Singkat cerita proses perkenalan dan pernikahan, berlangsung sangat cepat dan lancar. Entah apakah teman pria saya ini sudah melalui proses dialog dengan Tuhan. Pernikahan di awal, terjadi konflik diantaranya tidak adanya pemahaman diantara satu sama lain. Karena versi ini dari sudut pandang pria jadi logikanya hanya perempuan yang menjadi istrinya tidak dapat memenuhi keinginan suaminya yang biasanya dia lakukan di masa lalu. Teman saya penggila persib bandung yang semua tahu, ciri khas adalah biru. Merasa tidak dilayani dengan hal kecil dengan menyediakan baju berwarna biru atau kaos persib. Belum lagi sang istri tidak pernah keluar jadi untuk pergi ke warung aja bisa tidak hafal jalannya. Teman saya bilang percuma berbicara karena semua sudah dibicarakan apa yang disukai dan tidak disukai. Jadi kalau saling memahami kurang dan tidak adanya saling mengerti akan dialog atau nalar akhirnya memang chemistry ini sangat dibutuhkan. Karena tanpa diminta atau pernah berbicara dengan duduk bareng. Akhirnya akan menemukan suatu sinyal positif.

Teman pria saya ini menceritakan keluhannya dengan mengatakan karena sudah mempunyai anak dan melihat sisi baik dari sang istri adalah ibu yang baik untuk anaknya. Karena mempunyai latar belakang agama dan akademis yang baik. Sesudah itu kami saling dialog dua arah bahwa kami, sepakat "menikahlah dengan chemistry yang bagus".

Alasannya teman saya ibarat rumah fondasi yang bagus dan kuat akan menghasilkan rumah yang kuat. Sebaliknya, apabila fondasi rumah yang tidak bagus akan menghasilkan bangunan dan rumah tidak kuat atau rapuh. Jadi si chemistry itu penting bagi sebuah hubungan dan saya mempunyai analisa kepada teman saya, " Kamu lagi taklik atau lebih tepatnya lagi norak belajar agama lebih dalam, ya. Sehingga memilih pasangan karena dogma agama saja
tanpa melihat unsur fondasi hubungan". Lalu teman saya mengiyakan sambil nelangsa.

Lalu cerita kedua dari teman pria saya. Teman saya ini dijodohkan dengan kedua orangtuanya. Karena dijodohkan dan pada saat itu bapak teman saya ini sakit keras. Menikah dan mempunyai anak tapi perasaan teman saya tidak tergerak untuk mencintai istrinya. Yang menyedihkan mereka sudah mempunyai anak dua. Teman saya ini seringnya membayangkan perempuan yang ia sukai di masa lalu. Pada saat dia cerita saya hanya bilang "Apa kesalahan istrimu sehingga kamu tidak dapat mencintainya? " Dia menjawab "tidak ada, namun istri tidak memahami saya, tapi ada sisi baik dari isterinya, dia jauh memahami agama dibandingkan saya" Saya menjawab "cobalah untuk mencintainya tidak ada kesalahan fatal yang dibuatnya.  Hanya perlu waktu". Dan kejutan mereka sudah saling menyayangi ;)

*pixabay

Cerita ketiga datang dari versi wanita. Teman wanita saya menikah karena kondisi umur dan merasa perlu menikah demi hidup yang diinginkan. Akan tetapi teman saya tertipu si suami menduakan dengan menikah siri dengan wanita lain. Digadang-gadang si suami diguna-guna. Pasalnya WIL (Wanita Idaman Lain)  tidak berparas cantik ataupun kaya. Teman saya masih jadi kuli kantor,  wil ini masih duduk manis di rumah dan mereka punya anak. Sang suami tidak mau berpisah dan berjanji tidak akan menemuinya. Tapi memenuhi kewajibannya kepada anak.

Cerita ke empat teman wanita saya ini mempunyai masalah keluarga yang rumit di rumah sejak ditinggal ibu sewaktu kecil. Kemudian makin rumit ketika sang ayah meninggal. Sang kakak pun mempunyai konflik rumah tangga karena KDRT dan baru saja ketuk palu. Kemudian teman saya mendapatkan pasangan dari medsos (media sosial). Prosesnya sempat tarik ulur. Namun sang suami pada saat proses mau menikah meminta sambil menangis untuk meyakinkan bahwa dia membutuhkan teman saya, meski ada perbedaan. Menikah kilat dijalankan tanpa melewati pacaran. Setelah beberapa bulan menikah suaminya tidak menginginkan anak dikarenakan perbedaan prinsip agama beda paham agama. Mereka masih satu agama tapi aliran agama yang berbeda.

Dari cerita di atas dapat dipetik bahwa menikah harus didasari benar-benar saling mencintai dan keterikatan chemistry satu sama lain. Selain dilandasi iman kepada Tuhan untuk niat awal menikah karena menyempurnakan agama juga kedekatan akan agama yang dapat menghindari dari masalah.

Terkadang dogma agama memang harus keras dijalani. Tapi kembali lagi latar belakang juga budaya serta lingkungan apakah sevisi atau tidak, apabila ini tidak diperhatikan. Akan sulit kedepannya. Terlalu banyak konflik serta drama dalam menjalankan pernikahan tersebut.

Pertanyaan saya kalau semua manusia mengetahui konsep pernikahan yang sebenarnya bukan berarti dalam pernikahan tersebut tidak ada konflik. Namun konflik tersebut dapat diatasi dengan baik. Setan pun masih bekerja untuk mencari teman di neraka. Tapi sebuah hubungan yang didasari landasan chemistry yang baik. Akan terjadi dialog dan komunikasi yang sehat. Sehingga prinsip saling memahami, mencintai, memaafkan.  Akan terus tumbuh dalam merekatkan sebuah pondasi yang solid.

Jadi jangan menikah untuk menghindari konflik dari rumah dan mencari kebahagiaan dengan menikah. Juga jangan menikah karena usia, gengsi dan untuk menjawab pertanyaan masyarakat. Menikahlah dengan hati yang penuh kegembiraan dan waktu yang terbaik

Terima kasih sudah membaca tulisan ini
Salam sayang

Comments

  1. Mantap mbak ceritanya sangat keren, mengenai pernikahan bisa jadi motivasi buat saya. Saya bisa belajar banyak dari mbak, makasih ya info dan ceritanya,, Salam hangat dan salam persaodaraan....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam hangat dan persaudaraan mas. Terima kasih atas responnya. ;) smoga tulisan ini sampai ke hati juga ya

      Delete
  2. Keren mba, bisa jadi pelajaran untk sya yg akan menikah, Makasih mba sudah brbagi cerita 🙏

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Senandika

Cerita Vlogger Sukses Ria SW Part I

Review : Amber Immersiveland Summarecon Bekasi